PERHUBUNGAN – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menggaungkan Peraturan Menteri Nomor 85 Tahun 2018 Tentang Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) Perusahaan Angkutan Umum (PAU).
Melalui Peraturan Menteri tersebut, Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) yang dimiliki dengan pedoman RUNK LLAJ (Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalam). Guna menjalankan PM tersebut, Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat SMK paling lama 3 bulan sejak izin penyelenggaraan angkutan umum diberikan.
“Jika Membahas mengenai SMK pasti membahas mengenai 10 aspek,†ujar Kasubdit Manajemen Keselamatan, Avi Mukti Amin di Jakarta, Senin (23/9/2019) lalu.
Ada 10 aspek penting yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan Angkutan Umum, antara lain komitmen dan kebijakan, pengorganisasian, manajemen bahaya dan risiko, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kendaraan bermotor, dokumentasi dan data, peningkatan kompetensi, tanggap darurat, pelaporan kecelakaan internal, monitoring dan evaluasi, dan pengukuran kinerja.
Dari 10 aspek tersebut, nantinya akan diadakan pengawasan yang dijalankan melalui pengamatan dan pemantauan, inspeksi, dan audit. Untuk menjalankan tiga aspek tersebut, nantinya akan ada tim pengawas yang dibentuk oleh Direktur Jenderal, Kepala Badan, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Selain mengatur mengenai pengawasan, Peraturan Menteri tersebut juga mengatur sanksi yang akan dikenakan kepada Perusahaan Angkutan Umum jika tidak menjalankan aturan tersebut. Sanksinya pun tidak main-main. Pasalnya ada tiga tingkatan mengenai sanksi yang akan diberikan. Tiga tingkatan tersebut berupa sanksi peringatan tertulis, pembekuan dan pencabutan izin.
“Jelas jika tidak melaksanakan, kami akan memberikan tiga sanksi secara bertahap, yaitu peringatan tertulis, pembekuan izin, hingga pencabutan izin,†kata Avi.
Sementara itu untuk sanksi tertulis akan diberikan paling banyak dua kali dengan jangka waktu masing-masing 30 hari. Selain itu, jika dalam jangka waktu tersebut tidak melaksanakan kewajiban tersebut, Perusahaan Angkutan Umum akan diberikan sanksi berupa pembekuan kartu pengawasan. Bahkan, jika 60 hari sejak pemegang izin tetap tidak melaksanakan kewajiban, akan ada sanksi pencabutan izin.
Dalam penerapannya, Avi menginginkan setiap Perusahaan Angkutan Umum dapat menjalankan seluruh aturan tersebut guna lebih menjamin keselamatan pengguna angkutan umum.
“Jika nilai dari perusahaan tidak menunjukan sempurna dan patuh terhadap regulasi, sebaiknya jangan diterbitkan sertifikatnya,†tegas Avi.
Hal tersebut dilakukan guna mengantisipasi Perusahaan Angkutan Umum yang kelayakannya masih dipertanyakan. Selain itu, langkah tersebut juga bertujuan untuk mengetahui bentuk komitmen dari setiap Perusahaan Angkutan Umum dalam memberikan keselamatan bagi masyarakat.
“Sikap tegas untuk mengantisipasi agar perusahaan tersebut berkomitmen dalam memberikan keselamatan,†tambah Avi.
Guna mewujudkan itu semua dan menjalankan aturan tersebut, Ditjen Perhubungan Darat terus merangkul Perusahaan Angkutan Umum agar sama-sama memberikan keselamatan bagi para pengguna transportasi umum.
“Kami mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan Perusahaan Angkutan Umum dan direspon positif dengan kehadiran mencapai 91%,†kata Avi.
Pasca diskusi tersebut, Avi mengatakan sebenarnya sudah banyak perusahaan yang menerapkan sistem tersebut. Namun, banyak pula perusahaan yang tidak mencatat atau mendokumentasikan yang memberi dampak kekurangan pada persyaratan dalam melaksanakan SMK.
Tidak hanya itu, pasca FGD, Avi mengatakan nantinya akan ada 26 perusahaan yang menjadi pilot project guna menyukseskan Peraturan Menteri tersebut. Dalam pilot project tersebut, Perusahaan Angkutan Umum akan diberikan pembinaan dan pemberian bimbingan teknis terkait hal tersebut.