Di Indonesia pengaturan analisis dampak lalulintas belum sebaku analisis dampak lingkungan (Amdal). Di DKI Jakarta acapkali analisis dampak lalulintas (masih) dijadikan sebagai bagian dari analisis dampak lingkungan, khususnya sewaktu membahas aspek transportasi.
Seperti juga negara-negara di Asia, analisis dampak lalulintas di Indonesia awalnya dipandang sebagai bagian dari Analisis Dampak Lingkungan. Ini dapat dilihat dari kewajiban pengembang bangunan yang secara khusus tersirat pada Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa “setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis dampak lingkungan yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintahâ€.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisa Dampak Lingkungan menjelaskan bahwa “setiap rencana kegiatan berupa pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, wajib dilengkapi dengan penyaji informasi lingkunganâ€
a. Barangsiapa yang merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
b. Pemilik proyek yang melanggar hak masyarakat atau pihak lain harus membayar ganti rugi, tetapi ganti rugi tidak selalu berarti pemberian uang, karena dengan pemberian ganti rugi uang belum tentu menyelesaikan masalah di kemudian hari.
c. Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab membayar biaya pemulihan hidup kepada negara.
Analisis Dampak Lalu Lintas kemudian diatur terpisah dari Analisis Dampak Lingkungan sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan yang pada pasal 99 dan 100 nya menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 99
(1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.
(2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya memuat:
a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan;
c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;
d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan
e. rencana pemantauan dan evaluasi.
(3) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang- undangan.
Pasal 100
(1) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat.
(2) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
setelah ketentuan kewajiban analisis dampak lalu lintas di Indonesia ini sudah cukup kuat dan jelas karena ditetapkan dalam Undang-undang namun tetap saja pada pelaksanaannya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Ini dapat diketahui dari banyaknya pembangunan yang dapat membangkitkan lalulintas besar seperti mall atau kawasan industri pada ruas jalan arteri di wilayah Indonesia yang tidak dilengkapi dengan analisis dampak lalu lintas.
Pelaksanaan analisis dampak lalulintas di Indonesia juga belum seragam, ada yang melaksanakannya sebelum penerbitan ijin mendirikan bangunan (IMB) dan ada pula yang sesudahnya. Sekalipun pada prakteknya jika dilaksanakan sebelum IMB atau bagian dari persyaratan IMB maka dimungkinkan revisi besaran land use, relokasi,revisi site plan, atau penolakan IMB sedangkan jika dilaksanakan Sesudah IMB dapat diupayakan penekanan pada upaya penanganan dampak (jaringan jalan, manajemen lalu lintas, operasional dan penyediaan fasilitas angkutan umum, pejalan kaki, dan kaki lima). Namun kenyataannya kelengkapan dokumen andalalin ini baru pada tahap pemenuhan persyaratan administrasi saja.
Masalah lain yang dihadapi Indonesia saat ini adalah belum adanya batasan (threshold) untuk analisis dampak lalulintas. seharusnya, tidak semua pengembangan harus melakukan kajian analisis dampak lalulintas, khususnya pengembang berskala kecil. Permasalahan definisi skala kecil perlu ditetapkan. Sedangkan skala yang sangat besar sehingga merupakan kota di dalam kota mungkin harus dilakukan suatu studi makro terlebih dahulu (perencanaan transportasi kota) sebelum masuk ke kajian analisis lalulintas untuk unit-unit bangunan di dalamnya (Cahyono,2010).
Sebenarnya sudah disadari sebelum diterbitkannya UU NO 22 Tahun 2009 bahwa tidak semua pembangunan atau rivitalisasi suatu kegiatan harus melakukan studi analisis dampak lalu lintas. Menurut hasil penelitian Direktorat jenderal Perhubungan Darat (1995), Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk melakukan suatu studi analisis dampak lalulintas, yaitu :
- Daerah-daerah atau lokasi dengan kriteria yang mempunyai pola perjalanan yang cukup tinggi yang perlu dilakukan analisis dampak lalu lintas adalah : daerah pemukiman dengan densitas yang cukup tinggi, perkantoran, perkantoran, pertokoan dan perdagangan, hotel, rumah sakit, sekolah, industri dan stadion olah raga.
- Beberapa lokasi pembangunan daerah dengan tertentu walau tidak menyebabkan dampak seperti diuraikan pada rekomendasi pertama studi analisis dampak lalu lintas dan dianggap jenis pembangunan kawasan besar dapat dilaksanakan Analisis dampak lalu lintas. Lokasi tersebut meliputi :
a. Perumahan yang melebihi 200 unit.
b. Pertokoan dengan Gross Floor Area (GFA) melebihi 1000 m2
c. Desain perkantoran dengan GFA melebihi 5000 m2
d. Pergudangan dengan GFA melebihi 7500 m2
Namun standar batasan ini pun baru sekedar mengambil dari standarisasi yang diterapkan di negala lain (belum disesuaikan untuk kondisi Indonesia) dan sehubungan belum ada petujuk pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 2009 yang menjadi dasar hukum batasan kewajiban andalalin maka tiap daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) masih melaksanakan analisis yang berbeda-beda.